Apa Yang Akan Gw Lakukan Kalau Gw Bisa Balik Lagi Kuliah

Masa perkuliahan adalah masa yang paling unik yang bisa dilewati seorang insan muda. Ketika kita di sekolah, kita dibimbing secara langsung oleh guru dan orang tua untuk mengarahkan arah pertemanan dan lingkungan sosial kita. Sementara di dunia kerja, kita pada dasarnya full sendirian harus membentuk lingkungan pertemanan kita sendiri, tanpa teman yang sepenuhnya bisa kita bonding bareng tanpa membawa perihal pekerjaan.

Dalam konteks inilah di mana kuliah itu berbeda dengan sekolah dan kerja. Gak kayak dunia kerja, kita hadir di hadapan teman-teman seangkatan kita sendirian, dan kita diberikan berbagai tantangan yang hampir sulit untuk bisa diselesaikan bersama-sama. Ospek, tugas dari dosen, acara X, himpunan Y, itu semua perlu dilakukan dengan teman kampus seperjuangan yang loyal dan kenal satu sama lain. Dan gak kayak sekolah, kita gak ada guru wali kelas, gak ada “kelas perwalian” ataupun “kelas jurusan” yang dapat membantu kita menjadi satu angkatan yang kohesif.

Selain itu, di Indonesia seenggaknya, sistem pendidikan tinggi menuntut kita untuk langsung berubah yang awalnya gak tau apa-apa menjadi orang yang serba bisa setelah lulus kuliah. Mau itu bisa punya teman, pengalaman kepanitiaan/organisasi, akademis oke, dan siap kerja. Semua harus bisa dalam tenggat 4-5 tahun, atau naudzubillahi min dzalik, lebih. Sayangnya, kemampuan untuk bisa segala hal itu bukanlah hal yang bisa dimiliki oleh semua orang.

Gw baru aja didiagnosa Autism Spectrum Disorder (ASD) beberapa tahun yang lalu setelah gw lulus. Dan setelah memahami diri gw sendiri dan melihat kembali masa lalu gw lagi selama dulu di kuliah, gw mencatat beberapa hal yang bisa gw lakukan dengan berbeda jika gw bisa kembali lagi ke masa perkuliahan

1. Gak Usah Caper, LOL

Yeap, ini kesalahan utama gw. Caper. Tapi alasan gw dulu valid sih

Bayangin kalian dicaperin sama orang kayak gini, nyehehe 😀

Sebelumnya perlu diketahui kalau sebelum gw masuk kuliah, gw gak punya teman dekat banyak dan gw kurang paham skill serta pentingnya networking. Jadi ketika gw masuk kuliah, gw hanya paham kalau pingin punya teman banyak, gw perlu “put myself out there” dan semua orang harus kenal gw. Alhasil? Gw beneran SKSD sama hampir semua orang di kampus gw.

Gw inget dulu ada satu tugas mabim dimana kita harus kenal sekitar 30% temen-temen seangkatan di awal-awal PSAF yang didata lewat suatu binder, terus dinaikin lagi 50% setelah sebulan masa perkuliahan, dan seterusnya. Waktu itu, teman-teman gw ini mulai melihat betapa gak mungkinnya tugas ini dan mulai ‘curang’ dengan isi bindernya dengan data masing-masing dan asal nulis data diri mereka. Gw in the other hand, meskipun gak pernah nyampe 30% kenal teman-teman seangkatan gw, secara religius ingin mengerjakan tugas ini dengan sungguh-sungguh. Dengan harapan buta kalau mereka juga akan bisa kenal gw juga.

Berhasil? Well, agak. Agak berhasil kok.

Orang-orang sepertinya pada kenal gw, pada tau gw siapa di kampus, tapi gak tau kenapa gw merasa kurang, dan gw paksain lagi capernya ke orang-orang. Dari gw aktif dateng acara kumpul angkatan, sampai nge stand-up-comedy yang garing parah karena gw ngelawak soal masak telur di PC panas (yeah, bayangin aja itu segaring apa WKWKWK).

Masih berhasil? Nah, mulai nggak.

At this point, gw udah mulai melihat satu hal dari teman-teman gw. Mereka bisa tau gw siapa, tapi membuatkita saling mengenal itu beda cerita lagi. Gw mulai sadar kalau pamor gw sudah mulai hilang ketika teman-teman gw sudah nyaman dengan circle pertemanan mereka sendiri. Padahal, gw pada saat itu masih mengasosiasikan “pamor” dengan “pertemanan”. Ketika gw sadar itu, barulah gw sadar kalau caper gw itu sia-sia, dan sebaiknya gw reset lagi ke kepribadian pendiem gw yang bikin gw lebih nyaman

“Mereka bisa tau gw siapa, tapi membuat kita saling mengenal itu beda cerita lagi”

Kenapa gw waktu itu balik ke zona nyaman gw? Well, karena itu gw belum menerapkan langkah nomor dua yaitu…

2. Kenali Diri Sendiri

Recall tadi gw cerita kalau gw asal ikut stand-up comedy pas maba

Itu gw lakukan karena beberapa hal

  • Takut gak ada temen kelompok mabim gw yang berani tampil
  • Gw merasa yakin itu bakal bikin orang perhatiin gw
  • Gw juga gak tau hal lain apa lagi yang gw bisa bikin gw “stand out”

Dari ketiga alasan tersebut, alasan akarnya itu satu : gw gak pernah mendengarkan suara batin gw sendiri

Gw gak pernah sekalipun kepikiran…

“wah, bi, lo kan gak pernah berani manggung, terus sekarang lo mau uji nyali manggung begitu aja gitu?”

“mending lo lay low dulu aja deh, cari kesempatan lain untuk bersuara”

“eh, lo kan bisa tuh *insert bakat here*, coba-coba join UKM *insert UKM peminatan tertentu here* gitu ajaa”

Dan menurut gw agar lo lebih mendengarkan suara batin lo itu, lo harus mulai dengan memahami apa yang lo bisa dan yang lo gak bisa. Oke, gw bukanlah seorang filsuf, motivator, atau charisma coach yang mengasosiasikan mengenali diri sendiri sebagai “mengenal value lo apa”, gw yakin itu ada caranya sendiri. Tapi di sini yang lebih gw tekankan adalah pertanyaan seperti berikut :

  • Siapa sih diri lo yang pingin lo kenalkan di lingkungan baru lo?
  • Ada gak sesuatu yang bernilai yang bisa lo bawa?
  • Kalau gak ada, ada gak suatu hal yang pingin lo tekuni? Ada gak wadahnya di situ?

Itu semua hal fundamental yang harus lo pahami sebelum memasuki lingkungan baru seperti di perkuliahan.

“…agar lo lebih mendengarkan suara batin lo itu, lo harus mulai dengan memahami apa yang lo bisa dan yang lo gak bisa.”

Misalkan gw sekarang balik ke kuliah nih dengan skill dan wisdom yang udah gw punya sekarang dari kerjaan gw, mungkin gw akan coba conduct pertanyaan di atas seperti berikut

  • Siapa sih diri lo yang pingin lo kenalkan di lingkungan baru lo?
    • Gw adalah Abi yang sebenernya bijak, loyal, dan friendly, tapi jarang ngomong, temperamental, dan introvert. Introvert gw oke, tapi masalahnya, kurangnya komunikasi gw ini membuat gw kurang produktif dan kudet. Jadi gw kepingin lebih proaktif lagi dalam lingkungan sosial gw, meskipun gw gak perlu terkenal atau apaan.
  • Ada gak sesuatu yang bernilai yang bisa lo bawa?
    • Well, gw demen sih hal-hal seperti journaling sama tennis.
  • Kalau gak ada, ada gak suatu hal yang pingin lo tekuni? Ada gak wadahnya di situ?
    • Hmmm, gw merasa skill frontend programming gw masih perlu dipoles. Terus gw pingin mantepin tennis gw juga
Coba kalau dulu pas kuliah gw ngerti tennis ginian wkwkwk (ini foto 2023)

Kalau kita sudah pahami kemampuan kita di atas, baru kita ke…

3. Membuat Action Items

Kalau dalam IT, Action Items adalah bagian dari penentuan aksi retrospektif setelah kita memahami kesulitan dan keberhasilan kita setelah beberapa minggu bekerja. Tapi ya kalau di sini, konteksnya berarti kita sudah tau apa yang oke dan kurang oke dari pemahaman diri kita sendiri, dan apa yang akan gw lakukan untuk meraih apa yang kita mau.

Recall self-assessment yang udah gw lakuin di atas, gw akan coba membuat action items nya dari info tersebut

  • Gw adalah Abi yang sebenernya bijak, loyal, dan friendly, tapi jarang ngomong, temperamental, dan introvert. Introvert gw oke, tapi masalahnya, kurangnya komunikasi gw ini membuat gw kurang produktif dan kudet. Jadi gw kepingin lebih proaktif lagi dalam lingkungan sosial gw, meskipun gw gak perlu terkenal atau apaan.
    • Pas mabim aktif ikut acaranya dan diskusi
    • Ikut belajar bareng kalau ada yang nawarin
    • Ikut panitia acara X karena anak-anaknya keliatannya asik wkwkwk
  • Well, gw demen sih hal-hal seperti journaling sama tennis
    • Gw bisa aja tuh bikin-bikin artikel di majalah kampus,
    • Join kontingen tennis kampus.
  • Hmmm, gw merasa skill frontend programming gw masih perlu dipoles.
    • Coba fokus join komunitas frontend gitu di kampus gw deh
    • Ikut kelas tambahan buat belajar frontend

Perhatiin, itu semua action items yang menjawab semua pengenalan diri yang sudah gw conduct sebelumnya.

Apakah harus gw lakukan semuanya sekaligus? Nggak kok. Gak semuanya perlu lo lakukan dalam tenggat satu atau dua semester sekaligus. Inget, masih ada akademis lo. Lo mungkin bisa breakdown lagi semua action items tersebut sesuai pace yang relevan. Lo bisa mulai ikut kontingen pas semester dua misalkan, terus lo mulai fokus belajar frontend programming ntar aja pas bentar lagi mau lulus. Gak masalah. Walk on your own pace.

4. Banyakin Nongkrong (Seriusan)

Ini agak unpopular, tapi kontradiktif dengan apa yang dibilang para dosen, orang tua, dan motivator lainnya, banyakin ngobrol sambil nongkrong di mana gitu sama temen-temen, senior, atau junior lo itu bakal ngebantu banget. Di dunia kerja, lo gak akan dapat kesempatan emas untuk bersosialisasi dengan divisi lain (atau bahkan dengan rekan kerja dari divisi yang sama), semua akan fokus ke urusan pribadi dan pekerjaan pribadi mereka masing-masing. Di perkuliahan, tugas numpuk, dosen killer, dan senior galak kalian itu pemersatu kalian semua.

Jadi misalkan kalian ditawarin belajar bareng di kampus sampai malam, ikut lah, coba ajak ngobrol sama mahasiswa yang lain soal worksheet matdas yang gak akan lo bisa kerjain itu. Kalau divisi panitia kalian ngadain team building, datang lah dan kenali lebih dalam temen-temen satu divisi kalian, mau itu di night club pun. Setelah selesai sparring sama anak-anak fakultas lain, coba lah ajak ngobrol anak-anak yang ada di situ, mau itu dari tim fakultas sendiri, atau fakultas sebelah itu.

“Di perkuliahan, tugas numpuk, dosen killer, dan senior galak kalian itu pemersatu kalian semua.”

Tapi inget, jangan caper, be conservative. Gak semua orang itu temen lo, dan gak semua orang itu bisa sreg sama lo. Mulai kenalan dari satu atau dua orang yang kelihatannya friendly dan sefrekuensi sama energi sosial lo. Jangan langsung SKSD sama ketua angkatan yang kenceng banget ngomongnya itu, belum tentu dia akan nyambung sama lo yang mungkin gak banyak ngomong, dan kebalikannya.

Oke, mungkin saran pertama sama keempat ini kalau dibaca-baca lagi agak kontradiktif. Tapi bukannya gw bilang “Lo jadi anak semua tongkrongan aja sono!” ya. Gw lebih menyarankan untuk mulai keluar dari zona nyaman lo dengan bersosialisasi di berbagai domain lo, tapi gak perlu sampai melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan lo.

5. (OPTIONAL) Belajar Ngedate

Yep, sebenernya karena ini adalah salah satu penyesalan pribadi gw di kampus. Kalau lo baca sampai bawah, ada alasan kenapa bagian ini gak ada foto-fotonya sama sekali. Gw gak pernah pacaran selama kuliah.

Gw dulu nggak terlalu memberikan effort apa-apa di dalam dating life gw selama di kampus. Waktu itu gw terlalu kaku, dan gak pernah memprioritaskan nge-date sama orang dulu. Padahal, masa kuliah adalah masa terenak untuk lo eksplorasi seberapa oke diri lo di mata lawan jenis. Lo berada di masa perkembangan lo yang paling pesat, dan seharusnya nilai tambah lo selama di kampus akan muncul dengan sendirinya.

Dunia kerja? Not so much. Kembali lagi, individualisme akan semakin kuat seiring dengan waktu. Mau seberapa berkembangnya lo, semua itu gak akan dilirik begitu aja dengan cewek di kantor lo. Effort untuk lo memperkenalkan diri lo ke orang lain harus lebih besar di dunia kerja daripada di kuliah. Bukannya gak bisa, cuman bakal lebih susah aja.

Jadi ya sekali-kali coba lah ngobrol sama cewek satu himpunan lo itu! Atau abis lo selesai ngurus acara di kampus lo. Coba lah ajak junior cakep yang ada di divisi lo. Gw tau meskipun optional, tapi dating adalah skill yang sangat krusial, dan karena ini krusial, proses ini sangatlah sulit. Tapi kalau lo udah terbiasa atau bahkan bisa commit sama satu pasangan dari kampus lo, itu akan worth it banget!

QnA

“Bi, konteks dong, lo dulu kuliah di mana sih?”

Gw lulusan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Jurusan Sistem Informasi. Masuk tahun 2015, lulus 2019.

“Ceritanya ini lo lagi menyesali masa kuliah lo, bi?”

Hmmm, sort of, kalau boleh jujur.

Tapi gw gak terpuruk di masa lalu, nostalgia pingin balik ke zaman kuliah atau gimana kok. I’m happy where I am now. If anything, gw gak mau balik ke zaman jahiliyah itu wkwkwk.

Tapi, gw hanya menulis di sini dengan bayangan kalau gw bisa melakukan poin-poin di atas tersebut, gw akan lebih dapat leg up atas pengembangan diri gw pasca-kelulusan, yang at some point berhasil gw capai ya…baru setelah lulus. Dan dengan itu, orang lain bisa belajar dari gw. Itu aja sih.

“Jadi gini bi. Dunia perkuliahan itu kan dinamis. Kadang lo bisa nyaman sama lingkungan sosial kampus lo, kadang nggak. Yang paling sering itu karena orang-orang pada sirkel-sirkelan di kampus, dan jadinya lo gak punya lingkungan pertemanan yang mau nerima lo. Nah, cara lo hadapi masalah seperti ini gimana?”

Emang anak-anak Fasilkom UI nggak sirkel-sirkelan? Wkwkwk

Iya, gw paham masalahnya. Tapi ya balik lagi, you can’t please everyone. Gak semua orang itu temen lo, dan karena itu, gak semua temen lo bisa nerima lo. Masalah? Nggak. Itu artinya lo harus terus berjuang lagi membawa diri lo yang paling oke dan gak ngeselin sampai ada lingkungan yang bisa menerima lo.

Psikolog gw pernah bilang kalau gak ada orang-orang yang nerima lo dan gak mau temenan sama lo, lo itu udah pasti orang jahat. Dan menurut gw, orang jahat yang ‘sejahat itu’ hanya ada di film doang, gak mungkin lo itu sejahat Darth Vader atau apaan. Setiap orang itu ada sisi baiknya, dan sisi buruknya, kuncinya itu adalah lo mau nunjukkin sisi yang mana aja.

“Dari tadi lo ngomonginnya pertemanan di kampus. Kalau gw nyamannya sama pertemanan di LUAR kampus, gimana? Misalkan : temen magang, temen les, temen SMA, atau temen panitia acara non-kampus”

Iyaaa gapapa, itu gak masalah juga kok.

Kalau lo memang lebih berkembang di perkara urusan luar kampus, kayaknya akan lebih alamiah untuk lo lebih terbawa namanya di luar sana. Yang penting kan selama lo gak lagi kelas, ada hal positif lain yang lo lakukan yang membantu lo menemukan teman-teman di luar kampus.

Tapi, gw secara pribadi akan agak waswas kalau lo masih cling sama temen-temen sekolah lo pas lo udah kuliah. Bukannya gak boleh sih, tapi gw ngebayanginnya kecuali mereka sekampus sama lo, atau lo emang bisnisan sama mereka, jalan atau nongkrong sama mereka akan jauh semakin sulit untuk ketemuan secara daily sama mereka berhubung mereka akan sibuk dengan urusan mereka masing-masing di kampus. Ingat, lo juga ada dunia perkuliahan sendiri, dan teman-teman sekolah lama lo juga. Jadi alangkah baiknya lo fokus sama lingkungan kampus lo saat itu daripada menjebakkan diri di masa lalu.

“Lo gak mention ‘incer IPK setinggi mungkin’ bi? Itu bukannya penting juga ya? Kok malah lebih mentingin nge-date daripada akademis?”

NO, gw sengaja gak mention itu.

Sebenernya secara refleks orang-orang, mungkin termasuk gw, akan bilang “IPK itu penting”, dan akan ngingetin lo “Jangan males-malesan di kampus”, tapi itu juga males-malesan.

Gw kenal banyak orang yang IPK nya udah yang paling tinggi, sering lomba sana-sini, tapi dia gak bisa behave di kantornya dan dipecat. Kampus itu seharusnya momen di mana lo belajar dengan berbuat sebanyak mungkin kesalahan, mau itu di level akademis atau non-akademis. Dengan itu, menurut gw tunnel vision terhadap akademis seperti itu hanya akan membahayakan kapasitas lo untuk belajar.

Kesimpulan

Lingkungan kampus itu kompleks dan gak bisa didefinisikan dalam satu postingan blog ini sendiri. Gak ada teori saklek yang dapat membantu lo untuk menjadi populer, dikenal, atau bernilai di kampus lo. Meskipun itu, ada beberapa hal basic yang bisa lo lakukan agar lo gak planga-plongo di alam sana.

Suatu saat, lo akan menemukan cara lo sendiri yang akan berhasil buat lo, dan itu gapapa. Jadi ketika lo keluar dari kampus lo dengan toga lo, lo akan keluar dengan image dan tingkat kepedean yang jauh lebih besar daripada ketika lo masuk sebagai maba.

Sekian itu aja dari gw, terima kasih sudah membaca… ^_^


Posted

in

by

Tags: